Larangan orang tua kadang terasa seperti tali kekang yang merenggut
kebebasan. Kamu mau pacaran, dilarang. Ingin masuk jurusan Seni,
dibatasi dan dibilang tidak punya masa depan. Kalau sudah begini rasanya
dunia bergulir dengan amat tidak adil. Hanya karena mereka orang tua
bukan berarti kamu tak berhak memutuskan sendiri apa yang baik untuk
hidupmu ‘kan?
Jika saat ini kamu sering merasakan ketidakadilan karena larangan
yang diberikan oleh orang tuamu, kamu punya kesempatan mengubahnya kelak
pada anak-anakmu. Saat nanti kamu jadi orang tua, pastikan kamu tidak
melakukan kesalahan yang sama dengan melakukan 8 larangan ini pada
mereka.
1. Jangan Pernah Melarangnya Menggeluti Apa yang Dia Mau. Anakmu Kelak Bukanlah Miniatur Dirimu
Apakah selama ini kamu merasa sering diarahkan untuk menjadi seperti
orang tuamu? Bapak-ibumu dokter, kamu pun diarahkan untuk mengikuti
jejak mereka. Karena orangtuamu akuntan, sejak kecil kamu pun
digadang-gadang agar kelak bisa masuk Jurusan Akuntansi. Coba tanyakan
secara jujur pada dirimu sendiri, apakah kamu nyaman “disetir” terus
menerus? Apakah segala yang kamu lakukan saat ini masih akan sama jika
tanpa intervensi dari mereka?
Saat kelak kamu jadi orang tua wajar jika kamu punya harapan dan
impian yang kamu harap bisa diwujudkan oleh anakmu. Namun jangan pernah
memaksakan kehendakmu dan menyetir hidupnya. Jadilah seperti Idris
Sardi, yang dengan lugas menjelaskan apa yang harus Lukman lakukan jika
ingin jadi maestro biola seperti dirinya. Lukman yang tidak mampu
menjalani latihan sekeras Idris kemudian memilih untuk menggeluti dunia
seni peran.
Barangkali Idris kecewa karena Lukman tidak mengikuti jejaknya. Tapi
dari Idris kita dapat belajar bahwa anak adalah entitas bebas yang
sebenarnya sudah punya jalan mereka sendiri. Saat kelak kamu punya anak,
tak apa jika kamu membawanya ke tempat kerjamu untuk melihat dari dekat
bagaimana profesi yang kamu geluti. Namun, jelaskan juga kekurangan
profesimu dengan jujur. Saat dia menunjukkan ketertarikan yang berbeda
dari arahanmu, dukung dia sekuat yang kamu bisa.
Bukankah tujuanmu punya anak itu untuk membagi cinta? Kalau hanya ingin menciptakan pantulan diri, tidakkah kamu sudah cukup puas dengan berkaca?
2. Jangan Larang Dia Melakoni Sesuatu yang Berbahaya. Kamu Tetap Harus Menjaga, Namun Biarkan Dia Paham Segala Konsekuensi Di Balik Tindakannya
Kamu: *naik pohon*
Ibu: “Aduuuh, itu bahaya Kak! Turun, ayo turun cepet.” *kemudian menggendongmu turun*
Familiarkah percakapan macam itu dalam hidupmu? Dulu sewaktu kecil
rasanya banyak sekali larangan yang diberikan padamu dengan beragam
alasan di baliknya. Mulai dari karena tindakanmu dianggap berbahaya,
takut kamu tidak bisa menjaga keselamatanmu di luar rumah, sampai
beragam alasan yang jika dipikirkan sekarang nampak tidak masuk akal
sebenarnya.
Saat kelak kamu sudah jadi orangtua, alih-alih membatasi gerak anak
karena ketakutan pribadimu — kenapa tidak membentuknya jadi pribadi yang
bisa menjaga diri saja? Ambil larangan-larangan yang dulu sering
diungkapkan oleh orang tuamu, kemudian modifikasi jadi masukan yang bisa
mengembangkan dirinya:
- Kalau dulu kamu dilarang naik pohon, kelak arahkan anakmu dahan mana saja yang harus dipijak agar ia tidak jatuh.
- Jika dulu kamu dilarang main pisau, berikan dia pisau khusus anak-anak yang bisa mendorong kemampuan motoriknya.
- Saat kelak anakmu merengek terus minta permen, tunjukkan padanya video gigi penuh karies karena terlalu sering makan hidangan manis.
Dengan cara ini anakmu nanti paham betul segala resiko di balik
perbuatannya. Larangan akan ia anggap sebagai suatu masukan yang logis
dan bermanfaat, bukan sebagai sesuatu yang harus dilanggar dengan
diam-diam.
3. Saat Kelak Dia Ingin Masuk Jurusan IPS atau Bahasa, Jangan Langsung Mematahkan Keinginannya. Buka Telinga Dulu Untuk Mendengar Alasan Logisnya
Ketika waktumu untuk menjadi orangtua sudah datang, ajaklah anakmu
untuk berdiskusi memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan dirinya.
Semisal saat sudah tiba saatnya dia harus memilih mau masuk Jurusan IPA,
IPS, atau Bahasa di SMA. Jika kamu pernah mengalami tentangan keras
dari orang tuamu saat hendak memilih jurusan non-IPA, jangan lakukan
larangan yang sama pada anakmu.
Daripada merasa paling benar, coba ajak anakmu berdikusi tentang
alasan kenapa ia berniat mengambil jurusan tersebut, apa
pertimbangannya, dan bagaimana implikasi dari pilihan itu terhadap
jurusan yang dia ambil nantinya di universitas.
Jika alasannya logis tentu sebagai orangtua kamu harus menghargainya.
Tapi jika alasannya kurang logis, misalnya “Ya biar gampang saja”, ajak
dia untuk bicara bahwa jurusan IPS juga bukan jurusan “gampangan” yang
membuatnya bisa lebih santai. Setiap jurusan pasti memiliki kesusahan
dan kemudahannya sendiri-sendiri. Intinya jangan larang anakmu untuk
belajar membuat keputusan karena suatu saat nanti akan tiba saatnya
dialah satu-satunya orang yang akan membuat keputusan untuk dirinya
sendiri.
4. Jangan Kecilkan Pendapatnya Dalam Setiap Keputusan Keluarga. Sekecil Apapun Dia, Anakmu Tetap Manusia yang Punya Rasa
Kamu: “Wah Bu, rumahnya di cat baru toh?”
Ibu: “Iya Mas, Bapak pengen di cat lagi rumahnya biar rapi.”
Kamu: “Wah Bu, kok cat nya yang nggak tahan air sih? Ini rugi, rumah kita tanahnya lembab. Nanti cat-nya cepat mengelupas. Kok ya nggak tanya aku dulu sih?”
Ibu: “Ya udah Mas, nurut aja…”
Kamu: (dalam hati) kenapa gue disekolahin di Teknik Sipil kalau gini? Kan emang gue ngertiiii….
Secara naluriah orangtua selalu menganggap putra dan putrinya adalah
anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Secara tidak sadar mungkin
mereka juga lupa bahwa anak-anaknya yang dulu kecil kini sudah
bermetamorfosis menjadi makhluk dewasa yang memiki pemikiran dan
pendapatnya sendiri.
Saat kelak kesempatan jadi orang tua datang padamu, selalu tanyakan
pendapat anak dalam setiap kesempatan. Jangan merasa paling tahu dan
suka menang sendiri. Kadang, justru anak punya pendapat yang belum
pernah melintas di otakmu selama ini.
5. Daripada Melarang Dia Keluar Bersama Teman, Kenapa Tidak Melatihnya Menaati Jam Malam?
Kebanyakan orangtua akan bersikap keras terhadap aturan jam malam
bagi anaknya terutama jika anaknya itu perempuan. Hal ini tentu wajar
mengingat ancaman tingkat kejahatan memang meningkat saat malam hari.
Akan tetapi sebagai orangtua yang juga pernah muda tentu kamu menyadari
bahwa sesekali ada momen-momen di mana kamu memerlukan sedikit
kelonggaran terhadap aturan tersebut. Misalnya saja undangan ulang tahun
ke-17 teman dekatnya atau bisa juga acara prom night yang membuatnya harus pulang lebih malam.
Bertoleransilah dengan kondisi-kondisi tersebut selama anakmu memang
memiliki alasan yang masuk akal. Tanyakan padanya kapan ia akan pulang
dan dengan siapa akan pergi. Minta padanya untuk membuktikan bahwa kamu
bisa mempercayainya dengan pulang pada waktu yang telah disepakati.
Dengan begitu kamu melatihnya untuk bertanggung jawab terhadap hal-hal
yang sudah dia katakan.
6. Jangan Pernah Membatasi Ruang Geraknya Hanya Karena Dia “Perempuan” atau “Laki-Laki.”
Kamu: “Bu, aku mau ikut les balet ya?”
Ibu: “Ya, Mbak. Boleh. Nanti ibu daftarkan.”
Adik Cowok: “Aku juga mau ikut Kakak, Bu. Mau les balet.”
Ibu: “Apaan sih? Cowok masak balet. Balet itu buat cewek, Dek. Kamu ikut les bola aja ya?”
Pernahkah kamu merasakan tidak didukung keinginannya karena jenis
kelaminmu? Apakah sampai saat ini rasa tidak adil itu masih meninggalkan
jejak di hatimu? Pelajaran ini seharusnya kamu ambil dan terapkan saat
kelak menjadi orang tua. Jangan pernah membatasi ruang gerak anakmu
berdasar jenis kelaminnya. Biarkan mereka berkembang sesuai keinginan
pribadinya.
Saat kelak anak lelakimu ingin jadi penari, maksimalkan seluruh
sumber daya yang kamu miliki demi mewujudkan keinginannya. Begitu pun
saat anak perempuanmu mengungkapkan impiannya untuk jadi pilot. Tak usah
hirau pada apa kata orang di luar sana. Sebagai orangtua, kamu lah yang
harusnya jadi garda depan pendukung impian mereka.
7. Jangan Remehkan Jurusan Pilihannya. Bebaskan Dia Masuk Jurusan Seni, Filsafat, Hukum, Atau Apapun yang Dia Suka
Kamu yang selama ini berjuang keras demi bisa mendapat izin untuk
masuk jurusan DKV akhirnya sadar setelah lulus kuliah, jurusanmu pun
cukup menjanjikan di dunia kerja. Kekhawatiran orangtuamu beberapa tahun
lalu tidak terbukti pada akhirnya. Semua pencapaian karir, dalam pekerjaan apapun, tidak ditentukan oleh jurusan yang diambil. Melainkan dari bagaimana kamu menjaga konsistensi dalam menghasilkan karya.
Memiliki pengalaman pernah ditentang, kelak saat jadi orang tua
pastikan kamu menghargai pilihan anak. Apapun pilihan jurusannya, anakmu
punya kesempatan yang sama untuk sukses di bidangnya. Daripada membuang
waktu untuk pusing memikirkan dia masuk jurusan apa, lebih baik fokus
mengembangkan etos kerja dan integritasnya.
8. Saat Kelak Dia Mulai Jatuh Cinta, Katakan Padanya Bahwa Kamu Memahami Perasaannya. Tanpa Perlu Melarang, Ajarkan Dia Menjaga Luapan Rasa yang Belum Semestinya
Jatuh cinta adalah proses yang amat wajar bagi setiap orang. Hanya
saja, ketika baru beranjak remaja rasanya segala gejolak itu harus
mendapatkan muaranya. Harus pacaran, harus malam mingguan, harus SMS-an
mesra dan berkirim kabar setiap saat. Bukankah kamu juga pernah
mengalami kegilaan cinta serupa?
Ketika nanti kamu sudah jadi orang tua, ingat pengalamanmu dulu.
Betapa tidak menyenangkannya saat orang tuamu justru melarang
mengekspresikan rasa cintamu. Bayangkan dirimu ada di posisisi anakmu, backstreet di
belakang punggungmu akan jauh lebih masuk akal baginya daripada menurut
aturanmu yang membuat dia tidak bisa mengungkapkan rasa.
Daripada sibuk melarang dan justru kian ditentang, kenapa tidak jadi
sahabatnya saja kelak? Dengarkan curhatannya, tunjukkan bahwa kamu
memahami perasaannya. Tunjukkan padanya cara mengekspresikan cinta yang
membuatnya lega tapi tetap sesuai norma. Ajak dia menggubah puisi,
menulis lagu, sibukkan dia dengan berbagai kegiatan organisasi — hingga
nanti orang yang tepat mengambilnya darimu dalam komitmen pasti di
hadapan Tuhan.
Pengalamanmu bernegosiasi dengan orang tua saat ini sebenarnya bisa
jadi cermin bagaimana kelak kamu harus memperlakukan anakmu. Pada
akhirnya, cinta yang sebenarnya seharusnya diisi kebebasan dan dukungan
bukan? Larangan yang justru menyesakkan justru diragukan keabsahannya
sebagai bentuk kasih sayang.
Nukilan puisi ini Hipwee rasa tepat untuk menjadi bekal bagi
perjalananmu menjadi orang tua kelak. Kamu hanya dititipi, mereka lah
yang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri.
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu
No comments:
Post a Comment