Meski autisme bukan lagi kondisi yang jarang ditemui pada anak, namun belum ada ilmuwan yang benar-benar tahu apa penyebab munculnya gangguan ini. Sebagian besar hanya bisa menduga autisme disebabkan oleh gangguan genetik.
Pendapat berbeda dikemukakan peneliti dari University of California Davis MIND Institute. Setelah mengamati 1.000 anak berumur 2-3 tahun yang kebetulan memiliki ibu dengan riwayat preeklamsia selama masa kehamilan, mereka menemukan bahwa anak-anak yang lahir dari ibu dengan preeklampsia di masa kehamilan berpeluang dua kali lebih besar untuk terkena gangguan spektrum autisma atau biasa disebut dengan autisme.
Terbukti dari 1.000-an anak yang diamati, separuhnya didiagnosis dengan autisme dan 200-an anak lainnya dilaporkan mengalami gangguan pertumbuhan. Hanya 350 anak sisanya saja yang tumbuh dengan normal.
Bahkan tak hanya autis, peneliti juga menemukan bahwa anak-anak yang lahir dari ibu dengan preeklampsia cenderung mempunyai fungsi kognitif yang rendah. Ibunya pun lebih berisiko mengandung dengan berbagai komplikasi, antara lain insufisiensi plasenta, preeklampsia parah atau keduanya ketimbang ibu yang kehamilannya sehat-sehat saja.
"Saat preeklampsia menyerang, suplai oksigen dan nutrisi untuk si janin jadi berkurang. Sehingga janin yang sedang berkembang itu menjadi stres," terang peneliti seperti dikutip dari JAMA Pediatrics, Kamis (11/12/2014).
Peneliti makin yakin dengan temuan mereka ketika mengetahui bahwa ibu dengan preeklampsia juga berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir yang rendah atau prematur, padahal keduanya dapat meningkatkan risiko autisme pada si jabang bayi.
"Diperkirakan 12 persen kasus autisme merupakan dampak dari kelahiran prematur," imbuh peneliti.
Preeklampsia merupakan kondisi di mana tekanan darah ibu meninggi di masa kehamilan, terutama di trimester kedua atau awal trimester ketiga. Gejalanya seringkali muncul secara tiba-tiba, padahal bila tidak segera ditangani, akibatnya akan fatal bagi sang ibu.
Sebelumnya, faktor risiko autis pada anak dikaitkan dengan banyak hal. Mulai dari variasi gen, paparan merkuri dan pestisida, kekurangan nutrisi seperti zat besi, hingga usia sang ibu saat melahirkan. Bahkan belakangan paparan perangkat digital diklaim ilmuwan dapat mendorong anak untuk menjadi autis atau setidaknya cenderung seperti autis.
"Anak yang terlalu banyak dipapari gadget, tidak tertarik dengan lingkungan sekitarnya, bahkan tidak menyahut ketika dipanggil. Setelah diperiksa, anak itu tidak memiliki karakteristik autis yang khas, dan ia juga tidak bodoh. Akan tetapi kemampuan berbahasa dan bersosialisasinya sangat minim sehingga gejalanya mirip gejala autisme," papar praktisi pendidikan anak dari Korsel, Yee Jin Shin dalam bukunya, Mendidik Anak di Era Digital: Kiat Menangkal Efek Buruk Teknologi terhadap Anak.
No comments:
Post a Comment