Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat membuat Indonesia menduduki
peringkat kedua negara dengan populasi terbesar di dunia, setelah Cina.
Untuk menangani ledakan penduduk, pemerintah mengampanyekan gerakan
Keluarga Berencana (KB). Berdasarkan data SDKI (Survey Demografi
Kesehatan Indonesia) tahun 2007 partisipasi pria dalam ber-KB secara
nasional dengan memilih vasektomi sebesar 0,4 persen dan tubektomi 3,6
persen.
Vasektomi merupakan tindakan memotong saluran sperma sehingga tidak
dijumpai lagi bibit dalam ejakulat seorang pria. Sedangkan tubektomi
adalah pemotongan saluran indung telur. Akibatnya, sel telur tidak bisa
memasuki rahim untuk dibuahi.
Lalu, bolehkah seorang Muslim/Muslimah melakukan tindakan tersebut?
Padahal vasektomi dan tubektomi merupakan langkah pemandulan. Menjawab
persoalan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa. Dalam
sidang Komisi Fatwa MUI tanggal 13 Juli 1977 memutuskan bahwa vasektomi
dan tubektomi bagi seorang Muslim/Muslimah hukumnya haram untuk
dilakukan.
Kemudian, sekitar tahun 2000 beredar informasi bahwa saluran sperma
atau saluran indung telur tidak perlu diputus, tapi cukup dengan diikat,
maka bisa diurai atau diluruskan kembali. Informasi tersebut membuat
MUI sebagai pihak yang berwenang untuk mengeluarkan fatwa mengadakan
pertemuan dengan banyak tenaga ahli untuk membahas vasektomi dan
tubektomi.
Hasil yang didapat dari pertemuan tersebut, para tenaga ahli itu
tidak bisa memastikan apakah seseorang yang sudah melakukan vasektomi
atau tubektomi, ketika dilakukan rekanalisasi (penyambungan kembali),
tingkat kesuburannya akan seperti sedia kala.
“Akhirnya, pada tahun 2009 dilakukan ijtihad kembali oleh
para ulama dan menjadikan kesimpulan para ahli tersebut sebagai penguat
hukum terdahulu, yaitu mengharamkan vasektomi dan tubektomi,” ujar Wakil
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Drs H Sholahudin Al-Aiyubi, M.Si.
Namun, tambahnya, jika dalam keadaan darurat dan mendesak, vasektomi
dan tubektomi diperbolehkan. Ia juga menjelaskan suatu hal dikatakan
darurat yaitu apabila tidak melakukan hal tersebut, nyawa akan hilang.
Sementara mendesak dapat diartikan sebagai keadaan yang membawa dampak
buruk bagi kehidupan di masa mendatang. Kategori mendesak bisa
dimasukkan ke dalam keadaan darurat.
Soal pembatasan kelahiran (tahdid al-nasl), secara mutlak tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. “Yang diperbolehkan, mengatur jarak kelahiran (tanzhim al-nasl), sebagai keringanan(rukhsah) kepada umat Islam,” tegas Aiyubi.
No comments:
Post a Comment