Siapakah yang tidak pernah membeli barang secara kredit atau
mencicil? Sebenarnya bagaimanakah hukum membeli secara kredit dalam
Islam? Benarkah mengkredit barang juga dapat disamakan dengan riba?
Jangan sampai kita tidak memahami hukum halal haram daritransaksi
sehari-hari yang kita lakukan.
Rosululloh pernah menyebutkan kisah seorang laki-laki yang berambut
kusut, penuh debu, menengadahkan tangannya ke langit sambil berkata :
“Ya Robbi, Ya Robbi.” Namun makanannya haram, minumannya haram dan
tumbuh dari makanan yang haram, bagaimana mungkin do’anya akan
dikabulkan ?!” (HR. Muslim 1015, Turmudli 2989, Ad Darimi 2817)
Na'udzubillah.
Ulasan berikut ini semoga dapat menambah wawasan kita mengenai hukum
kredit barang sehingga bisa membuat kita yakin dan tenang mengenai halal
dan haramnya:
Hukum Asalnya Boleh
Di dalam ilmu fikih, akad jual beli kredit lebih familiar dengan istilah jual beli taqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.
Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh
syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
1. Firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad utang-piutang, sedangkan akad
kredit merupakan salah satu bentuk utang, sehingga keumuman ayat di
atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.
2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan
makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga
menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)
Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.
Rambu-rambu Kredit
Telah kita ketahui bahwa hukum asal kredit barang adalah boleh,
hanya saja ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan
pembelian barang secara kredit, yakni:
1. Harga harus
disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian.
Misalny: harga rumah 200 juta bila dibayar tunai dan 350 juta bila
dibayar dalam tempo 5 tahun.
2. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila
pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.
3. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran
dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan).
4. Tidak terdapat dua akad dalam satu transaksi. Dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi
disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menjual dua transaksi
dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau riba.” (HR
at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Ulama menafsirkan, yang
dimaksud dengan “dua akad dalam satu transaksi”, misalnya, seseorang
berkata: “Aku jual sepeda motor ini, tunai seharga Rp 13.000.000, kredit
Rp 16.000.000,” kemudian keduanya berpisah dari majelis akad tanpa ada
kesepakatan pembelian, tunai atau kredit. Maka akad jual beli ini batal
adanya.
Adapun ketika pembeli menentukan satu pilihan dari dua opsi yang
ditawarkan, maka jual beli itu sah, dan berlaku atas harga yang
disepakati.
Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit
dengan menaikkan harga diperkenankan. Ada sementara pendapat yang
mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya,
sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual
dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu
berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.
Tetapi
jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual beli kredit ini, karena pada
asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual beli kredit
tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu
seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak
sampai kepada batas kezaliman.
Wallaahualam
No comments:
Post a Comment