Masyarakat yang menganut sistem matrilineal mengatur garis
keturunannya dari pihak ibu. “Dalam kekerabatan Minang dikenal istilah samande atau seibu. Sedangkan ayah justru disebut sumando
atau ipar,” kata Akmal. Kaum lelaki dianggap tamu dalam keluarga. Dalam
adat Minang, posisi perempuan memang sangat ditinggikan. Seorang ibu
bahkan disebut limpapeh rumah nan gadangatau pilar rumah tangga
Perempuan Minang juga menjadi ahli waris, bertentangan
dengan hukum waris Islam yang diatur berdasarkan nasab ayah. Dalam
budaya Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah.
Harta pusaka tinggi adalah warisan turun temurun dari pihak keluarga
perempuan yang tidak boleh sembarangan digadaikan. Sedangkan harta
pusaka rendah merupakan harta dari hasil jerih payah seseorang.
Inilah yang kerap menjadi kontroversi, bahwa hanya harta
pusaka rendah yang diwariskan mengikuti ajaran Islam. Sedangkan harta
pusaka tinggi tetap pada aturan adat, tidak boleh digunakan.
Satu-satunya ulama Minang ,yang juga imam besar Masjidil Haram pada
akhir abad 19, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, sangat menentang
pengaturan ini. Ia sampai tidak mau kembali ke Minang karena konsisten
dengan pendapatnya.
Namun, Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, ulama Minang
yang juga ayahanda Buya Hamka, mengambil jalan tengah. Ia memfatwakan
harta pusaka tinggi masuk ke dalam kategori wakaf yang boleh
dimanfaatkan oleh pihak keluarga, tapi tak boleh diperjualbelikan.
Inilah yang hingga kini dipegang oleh kebanyakan orang Minang.
Menurut Akmal Basral, matrilineal dalam adat Minangkabau dan kontroversinya dengan hukum Islam menjadi grey area
yang tak kunjung menemukan titik temu. Namun, di sisi lain, justru di
situlah letak keunikan Minangkabau. Jeffrey Hadler dalam bukunya
menyebut kasus Minangkabau sebagai sebuah “teka-teki sosiologis”.
Artinya, bagaimana sistem matrilineal bisa berdampingan dengan ajaran
Islam yang sangat kuat, itulah keunikan budaya Minangkabau.
No comments:
Post a Comment