Orangtua yang mempunyai anak balita (bawah lima
tahun) mungkin pernah mengalami suatu waktu
ketika sang anak ingin dibelikan sesuatu atau ingin
memiliki sesuatu dan permintaannya tidak dituruti
maka tanpa di duga, si anak menangis sekeras-
kerasnya bahkan sampai berguling-guling di lantai.
Anda tentu menjadi jengkel, tapi si anak semakin
menjadi-jadi tangisnya.
Itulah yang disebut Temper Tantrum (mengeluarkan
amarah yang hebat untuk mencapai maksudnya),
suatu letupan amarah anak yang sering terjadi pada
usia 2 sampai 4 tahun di saat anak menunjukkan
kemandirian dan sikap negativistiknya. Perilaku ini
seringkali disertai dengan tingkah yang akan
membuat Anda semakin jengkel, seperti menangis
dengan keras, berguling-guling di lantai, menjerit,
melempar barang, memukul-mukul, menyepak-
nyepak, dan sebagainya. Bahkan pada anak yang
lebih kecil, diiringi pula dengan muntah atau kencing
di celana.
Mengapa Temper Tantrum ini bisa terjadi ? Hal ini
disebabkan karena anak belum mampu mengontrol
emosinya dan mengungkapkan amarahnya secara
tepat. Tentu saja hal ini akan bertambah parah jika
orang tua tidak mengerti apa yang sedang terjadi
pada anaknya, dan tidak bisa mengendalikan
emosinya karena malu, jengkel, dan sebagainya.
Beberapa penyebab konkrit yang membuat anak
mengalami Temper Tantrum adalah :
1. Anak terlalu lelah, sehingga mudah kesal dan tidak
bisa mengendalikan emosinya.
2. Anak gagal melakukan sesuatu, sehingga anak
menjadi emosi dan tidak mampu mengendalikannya.
Hal ini akan semakin parah jika anak merasakan
bahwa orang tuanya selalu membandingkannya
dengan orang lain, atau orang tua memiliki tuntutan
yang tinggi pada anaknya.
3. Jika anak menginginkan sesuatu, selalu ditolak
dan dimarahi. Sementara orang tua selalu memaksa
anak untuk melakukan sesuatu di saat dia sedang
asyik bermain, misalnya untuk makan. Mungkin
orang tua tidak mengira bahwa hal ini akan menjadi
masalah pada si anak di kemudian hari. Si anak akan
merasa bahwa ia tidak akan mampu dan tidak berani
melawan kehendak orang tuanya, sementara dia
sendiri harus selalu menuruti perintah orang tuanya.
Ini konflik yang akan merusak emosi si anak.
Akibatnya emosi anak meledak.
4. Pada anak yang mengalami hambatan dalam
perkembangan mentalnya, sering terjadi Temper
Tantrum, di mana dia putus asa untuk
mengungkapkan maksudnya pada sekitarnya.
5. Yang paling sering terjadi adalah karena anak
mencontoh tindakan penyaluran amarah yang salah
pada ayah atau ibunya. Jika Anda peduli dengan
perkembangan anak Anda, periksalah kembali sikap
dan sifat-sifat kita sebagai orangtua.
Beberapa hal yang bisa orangtua lakukan untuk
mengatasinya :
* Yang paling utama adalah orangtua harus menjadi
contoh yang baik bagi anak. Jika Anda marah,
salurkanlah itu secara tepat. Anda harus ingat,
bahwa anak merekam setiap kejadian yang positif
maupun negatif yang terjadi di sekitarnya. Jika tanpa
Anda sadari anak Anda sudah merekam sifat-sifat
Anda yang buruk, atau dia melihat si Ayah memukul
Ibunya, bisa dipastikan peristiwa itu akan membawa
pengaruh buruk dalam hidupnya kelak.
* Jika anak ingin bermain dan tidak ingin diganggu,
berilah kesempatan secara bijaksana kepadanya.
Jangan terlalu mengekang, dan beri kepercayaan
bahwa dia bisa bermain dan bergaul dengan baik.
* Jika Anda terpaksa harus berseberangan pendapat
dengan si anak saat dia mengamuk, kemukakan
pendapat Anda secara tegas, tetapi lembut. Jangan
membentaknya, apalagi sampai mengucapkan kata-
kata yang tidak pantas. Atur emosi Anda, karena dia
tidak sedang bermusuhan dengan Anda, dan dia
bukan musuh Anda. Abaikan tangisnya dan ajaklah
dia berbicara dengan lembut. Jelaskan kepadanya
mengapa Anda tidak memberinya mainan yang dia
ingini dengan alasan yang jujur dan tidak dibuat-
buat. Jelaskan dengan sabar sampai dia mengerti
maksud Anda yang sebenarnya, karena saat itu
adalah konflik yang sedang dialami oleh si anak.
Pastikan bahwa ia bisa mengerti maksud Anda
dengan baik, karena konflik yang berakhir
menggantung, akan muncul di kemudian hari dengan
bentuk yang tidak pernah Anda duga sebelumnya.
Sekali lagi, atur emosi Anda. Mungkin Anda malu
dilihat banyak orang di supermarket. Tapi ingatlah
akan perkembangan emosi anak Anda. Bisa Anda
bayangkan apa yang terjadi jika Anda terbawa emosi
dan rasa malu, dan Anda bersikap keras kepada anak
Anda.
* Ajarlah anak Anda untuk berlatih menguasai dan
mengendalikan emosinya. Anda bisa mengajaknya
bermain musik, melukis, bermain bola, atau
permainan lainnya. Lewat permainan-permainan
tersebut, anak belajar untuk menerima kekalahan,
belajar untuk tidak sombong jika menang, bersikap
sportif, dan belajar bersaing secara sehat. Tapi ingat,
jangan sekali-kali Anda bermain curang. Mungkin
Anda pikir ini hanya sekedar permainan. Tapi anak
akan berpikir dan menerapkan pada dirinya, bahwa
berlaku curang itu sah-sah saja.
hujan bikin saya jadi lancar ngetik..anak-anak anteng
main ular tangga..
saya sering
bertemu anak-anak yang bermain dengan mainan,
entah itu games dan apalah itu, yang IMHO, ndak
mendidik, ndak ngislami dan (maaf-maaf saja)
sekedar trik orang tua supaya anak sibuk sendiri,
sedemikian rupa sehingga orang tuanya bisa bekerja
dan beraktivitas.
Ini serius lho ya, saya amati, terutama bagi yang
berdomisili di luar negeri, jenis permainan ini sangat
terbatas. Outdoor jelas susah, cuma bisa pas
summer, butuh terman dan tempat bermain (misalnya
sport). Jenis permainan standard itu kan ‘PC games’.
Mulai dari anak dari tokoh masyrakat, alim ulama
sampai anak orang biasa kayak kita-kita ini;
permainannya berputar di media elektronik : games/
videos di komputer dan TV.
saya menemukan makalah pas ikut parenting class
penelitian
Profesor R.K. Sawyer (WUStL). Katanya Prof. Sawyer,
untuk anak dibawah 6 tahun. Permainannya harus
konstruktif, dimana anak dibiarkan aktif berkreasi
mengakumulasi pengetahuan selama bermain.
Batasannya: aman dan sesuai umur . Point ini mudah
dipahami.
Katanya lagi, permainan yang baik adalah permainan
yang ‘tidak saklek’ atau bahasa dia, low realism.
Maksudnya: Anak yang sudah pernah nonton Kura-
kura Ninja akan mudah memainkan mainan berbentuk
Leonardo atau Donnatello. Akibatnya anak menjadi
tidak kreatif. Beda kalau mainannya belum pernah
diliat diTV, dia akan lebih bebas untuk berimajinasi
dan berimprovisasi.
Catatan menarik lain dari Sawyer adalah tentang
kehadiran orang tua selama si anak bermain .
Katanya, bukanlah mainan itu yang memacu proses
belajar anak, tapi interaksi anak dengan orang tua,
selama memainkan mainan, menjadi bagian
terpenting. Padahal, beberapa hari yang lalu, saya
baru saja diberi tahu tips mendidik dari seorang
pensiunan pendidik, katanya: “penuhi saja
ruangannya dengan mainan, lalu biarkan ia main
sendiri”.
Hmmm, ini catatan yang penting dari Sawyer, kalau
memang anak mesti selalu ditemani saat bermain.
Catatan lain yang menarik dari Sawyer adalah
tentang video games. Jika dibandingkan menonton
TV, video games masih lebih bisa dijadikan pilihan
lah. Tapi bermain bersama dengan anak lainnya lebih
diutamakan ketimbang main video games . Alasannya
lagi-lagi; kreativitas yang terbatas yang ditawarkan
video games. Tidak seperti main bersama yang
penuh imaginasi dan banyak ruang untuk
mengembangkan kreativitas.
No comments:
Post a Comment